One Confession Part 12

One Con 4

Judul : One Confession pt 12

Author : Diah Ayu Romadhon

Genre : Romance

~oOo~
Sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Ica Eeouni, Mona, Anisa Fitri, Arma, Anisa, Alfara, Kintan,  Gp, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu sudah memberi saya dukungan dengan membaca, memberi saran, komentar dll sampai akhirnya saya bisa menyelesaikan
tulisan ini. Walaupun masih begitu banyak kekurangan dalam cerita ini saya harap pembaca terus dapat memberikan saran komentar dll untuk memperbaiki tulisan-tulisan yang akan datang. Jujur saja dalam tulis menulis menurut saya untuk pertamakalinya susah susah gampang, tapi karena desakan dalam diri saya untuk mengabadikan suatu pengalaman yang paling berkesan dan sulit untuk saya melupakan, akhirnya saya tungkan kedalam tulisan dengan sedikit perubahan bagian setting sana sini. Untuk itu sekali lagi saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya yang sudah mau membaca karya saya yang sebenarnya belum layak publish dan hanya bermodal nekat. XD Terimakasih.. ^^ oke selamat membaca~

 

Part 12

“Ana.. apa yang ingin kau pesan?” aku berada di sebuah cafe shop yang tidak jauh dari kantor, dan tepat di hadapan ku duduk seorang gadis manis berambut hitam pekat sebahu dengan lesung pipit di pipi nya bertanya pada ku, sambil serius membaca menu yang dia pegang.

“Umm tidak, terimakasih aku sudah makan, silahkan pesan saja untukmu.” Aku menolak sopan. Karena jujur saja mood ku sedang tidak beres, pikiran ku saat ini hanyalah kepada Marcus. Mengapa dia pergi dan kemana dia pergi aku akan menagihnya nanti.

“Sebenarnya aku juga kenyang, memesan dua cangkir kopi kau tidak keberatan kan? kita harus memesan sesuatu saat berada di tempat makan.” Aku setuju dengan ucapannya. Aku tidak ingin lama-lama berdebat hanya karena sebuah pesanan dan yang terpenting sekarang aku ingin tahu apa yang membuat gadis ini ingin menemui ku. Dia menelepon ku beberapa waktu lalu.Tidak lama seorang waitrs datang kemeja kami mengantar pesanan. Kembali ke dalam percakapan kami, aku ingin memulai pembicaraan.

“Jadi bisa kau jelaskan apa yang membuat mu menelpon ku untuk datang kesini?” aku langsung ke inti, ingin cepat.

Dia membasahi bibir nya sebelum menjawab pertanyaan ku. “Aku tidak tahu dimana harus memulainya, aku Anne Scarlett seseorang yang dulu dekat dengan Marcus.”

Alis ku mengkerut. “Marcus? Kau temannya?” aku mulai bisa merasakan atmosfer yang berubah menjadi tidak nyaman.

Dia menggelengkan kepalanya. “Lebih dari itu…. kami dulu kekasih.” Dia menyesap minum nya, aku bisa melihat itu untuk mengalihkan rasa ketidaknyamanannya.

“Aku tidak mengerti, kalian dulu kekasih berarti sekarang bukan?” Itu bukan suatu masalah. Semua orang mempunyai masa lalu, pikirku.

Dia diam tidak menjawab, kepalanya menunduk membuat ku semakin tidak mengerti apa maunya. Kemudian dengan perlahan dia mengangkat wajahnya, dan tetesan air mata jatuh ke pipinya, aku bertanya-tanya dalam hati apa yang salah, mengapa dia menangis.

“Hei, Anne ada apa?” aku mulai khawatir. Apa yang membuatnya menangis? apa dia masih mencintai Marcus? Atau jangan-jangan dia sedang mengandung anak Marcus. Hah tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala ku, menepis pemikiran yang membuat ku tidak nyaman. Tetapi siapa yang tahu kemungkinan itu bisa terjadikan?

“Maaf kan aku, ini memang salah ku. Aku melakukan kesalahan, aku menyesal, aku ingin kembali tapi sudah terlambat.” Anne semakin terisak dan aku semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraannya. Aku mengerang dalam hati, bisakah dia tidak mengeluarkan air mata?

Aku menggelengkan kepala. “Bisa kau jelaskan pada ku? Sungguh aku tidak mengerti apa yang bicarakan.” Aku memberinya tisue untuk menghapus air matanya.

Dia menatapku, dengan air mata yang masih mengalir. “Aku tahu aku tidak pantas berkata seperti ini kepada mu, tetapi sungguh aku tidak tahu harus bagaimana lagi, aku merasa aku harus berbicara pada mu. aku masih..” dia menarik nafas “Aku masih begitu menyukainya.”

Aku terdiam. Merasa kesal dengan ucapannya, aku mengerti kalau dia masih mencintai kekasih ku, tetapi mengapa dia membicarakannya pada ku? Dia ingin aku menyerahkan kembali Marcus untuknya? Astaga aku tidak mengerti.

“Jadi kau bermaksud meminta ku untuk membiarkan Marcus bersama pada mu, kembali? begitu?” aku mulai menaiki voulme nada bicara ku. “Dengar Miss, aku tidak tahu bagaimana hubungan mu dengan Marcus atau bagaimana kisah kalian berakhir tetapi yang jelas dia bukan kekasih mu lagi, yang jelas aku tidak menyukai pembicaraan ini.” Sial. Emosi ku mulai terpancing.

Anne membelalakan matanya dan menatap ku tajam-tajam. “Memang aku masih mencintainya tetapi bukan berarti aku ingin merampas Marcus dari mu, kau bisa tenang soal itu, ada sesuatu yang lebih harus kau perhatikan, apa kau sama sekali tidak tahu tentang masa lalunya? Aku hanya khawatir kalau kau hanya di jadikan pelampiasan.” Anne ikut menaiki volumenya. Aku menatap nya tajam, apa-apaan dia berkata begitu.

“Aku tidak perduli dengan masa lalunya, sudah ku katakan semua orang memiliki masalalu.”

“Masalalu yang belum terselesaikan.” Tangisannya perlahan mulai mereda akibat emosi.

Aku terdiam. Masa lalunya?

“Aku menemui mu bukan untuk berdebat, aku ingin berteman.” Anne berkata lirih.

Bagaimana bisa kami berteman, sedang dia masih mencintai kekasih ku. Aku terdiam tidak tahu apa yang harus ku katakan. Aku melihat dia menangis lagi, tatapannya menyedihkan aku tahu dia sedang terluka, kemudian dia bangkit dari kursi hendak beranjak. Saat ini aku memang tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, hanya saja aku merasa simpati padanya, aku melihat dari tatapannya tadi, dia sedang merasa bingung putus asa, kesakitan, kekecewaan. Ini membuat ku bingung.

Dengan cepat aku ikut bangkit berlari keluar caffe menyusul Anne, aku berlari tepat saat dia hampir menutup mobilnya.

“Anne, maaf kan aku, kata-kata ku kasar. Aku memang belum mengerti maksudnya, tetapi aku merasa simpati pada mu. aku minta maaf padamu.” Kata ku menyesal. Aku berharap dia mau memaafkan aku karena kata-kata ku yang tidak sopan.

Dia tersenyum. “Aku tau kau orang baik, Ana. Aku ingin kita berteman, bisakah?”

Aku berfikir sejenak. “Tentu, itu bukan ide yang buruk. Aku tidak pernah menyeleksi teman, aku berteman dengan siapa pun.” Aku menjawab tergagap.

“Terimakasih, Ana.” Dia beranjak dari tempatnya dan memelukku.

Aku tersenyum, tiba-tiba perasaan cemas dan gusar mulai menerpa. Aku tidak mengerti mengapa perasaan itu sering menjalar akhir-akhir ini. Kemudian aku melepaskan pelukannya.

Dia memanjangkan lehernya mencari sesuatu.

“Apa yang kau cari?” Tanya ku.

“Kau di jemput Marcus, Ana?”

“Tidak.”

“Benar kah? Dia sekarang berada di belakang mu.” Anne menunjuk kebelakang ku.

Aku terkejut, di belakang ku? Marcus? Reflek aku membalikan tubuh ku dan sosok pria tinggi sudah bertengger di belakang ku dengan tangan di letakkan di pinggannya.

“Astaga! kau membuat ku kaget.” Aku mengelus dada ku yang berdebar kencang.

“Kau tidak mengangkat panggilan ku, Ana.” Marcus menaikan volumenya. “Aku mencari mu menggunakan alat pelacak yang terpasang di ponselmu ternyata kau menemui wanita ini? Kau mengenalnya?” yang di sebut-sebut “wanita ini” langsung merubah ekspresi menjadi tidak terbaca, seperti dingin, senang atau kesal.

Atmosfer sudah berubah menjadi tidak menyenangkan, aku harus menengahi ini. “Aku akan menjelaskan semuanya, nanti.” Aku berkata kepada Marcus.

Anne memotong ucapan ku. “Sudah lama, bagaimana kabar mu Marcus?” Anne menyapa Marcus, dia tidak perduli dengan perubahan atmosfer yang sedang berlangsung.

Marcus menatap Anne dengan garang, terlihat jelas rahangnya mengeras menandakan sebuah emosi yang sedang di tahan. “Aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan mu, dan mulai dari sekarang tolong menjauh dari ku atau Ana! Bisa kau lakukan itu?” astaga Marcus langsung begitu emosi, setiap kata-katanya terdengar penuh penekanan.

“Aku hanya ingin mengenalnya.” Sanggah Anne, dia sekarang tersenyum. Aku tidak mengerti situasi ini.

“Mengenalnya? Untuk apa? Merusak hubungan ku? Dengar Anne, kita sudah selesai! Bisakah kau mengerti keadaan ini? Jangan mengganggu, oke!” Marcus mengangkat kedua tangannya tanda sebagai dia ingin mengakhiri percakapan ini. “Ayo Ana.” Dia menggenggam tangan ku sedikit kuat membuat aku meringis. Kami berjalan cepat menuju mobilnya.

“Sial!!” maki Marcus sambil memukul stir sangat kuat, nafasnya terdengar berat karena sedang menahan emosi.

“Tenganglah, dia tidak melakukan apa pun pada ku, kami hanya bicara.” Aku mencoba membuatnya lebih tenang, tetapi aku salah ketika dia menatap ku dengan tatapan tajamnya itu membuat ku sedikit ngeri. “Sungguh.” Lirih ku meyakinkannya.

Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau belum mengenalnya Ana. Aku yang sudah mengetahui semua wataknya. Percaya pada ku, dia tidak hanya sekedar ingin mengenalmu. Dia ingin lebih.”

Aku menatapnya, wajah tampan itu masih terlihat dingin sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya yang menampilkan sikap manisnya. Seperti ini kah saat dia sedang marah? Walaupun aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua. Ini jelas sekali kalau mereka putus dalam keadaan tidak baik-baik.

“Jangan menemuinya lagi.” Gumamnya sambil mengihupkan mesin mobil.

Oke kupikir lebih baik begitu, memikirkan tentang mereka membuat ku pusing. Aku juga bukan orang yang ingin tahu tentang masa lalu orang lain, karena setiap orang pasti memiliki masa lalu bukan.

“Baiklah, aku tidak akan menemuinya lagi.”

Dia menatap ku. “Bagus. Sekarang bisa kah kita berkencan?” tanyanya. Suasana sekarang sudah mulai mereda.

Aku mendesah malas. “Aku sangat ingin berkencan sekarang, tetapi saat ini aku begitu lelah.” Aku merasa lelah dengan hari ini. Tidak seperti biasanya walapun pekerjaan ku menumpuk tetap saja aku selalu bersemangat.

“Kau sakit?”

“Tidak, aku hanya ingin pulang dan tidur. Kau habis dari mana pulang dari kantor”

“Hanya sedikit menyelesaikan beberapa urusan. Kau marah padaku?” tanyanya.

“Astaga tidak Marcus, sungguh. Aku hanya lelah dan ingin tidur.” Aku menggelengkan kepala. Ada apa dengannya malam ini? Dia begitu sensitive. “Besok hari minggu, bisa kah kau menjemput ku pukul delapan pagi? Aku ingin kencan di siang hari.” Kataku mengalihkan pembicaraan.

“Ya itu ide yang bagus.” Kemudian kami terdiam untuk waktu yang lumayan lama. Sepi, aku ingin memutar lagu di mobil Marcus tapi kuurungkan.

Mobil yang kami naiki sudah sampai di rumah ku, aku tersenyum dan turun dari mobil. Aku tidak sadar ternyata Marcus mengemudi dengan kecepatan diatas rata-rata.

“Hati-hati mengemudi.” Kata ku sambil melambaikan tangan.

“Tidur yang nyenyak, cantik. Selamat malam.” sikap Marcus berubah manis lagi. Aku suka saat dia memakai kata-kata bualannya itu. Aku senang karena ini malam hari warna pipi ku bisa tersamarkan.

“Lebih cantik ketika kau merona.” dia menggodaku.

Sial. Ini memang malam hari tetapi lampu jalan yang terang ini membongkar penghianatan pipi ku.

Dia terkekeh kemudian mengoper gigi, menginjak pedal gas kemudian melaju.

4 thoughts on “One Confession Part 12

Tinggalkan komentar